Aurat

0 komentar
Seorang perempuan cerdik dan shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Sungguh, musuh-musuh Islam telah mengetahui bahwa keluarnya kaum perempuan dengan mempertontonkan aurat adalah sebuah gerbang diantara gerbang-gerbang menuju kejelekan dan kehancuran. Dan dengan hancurnya mereka maka hancurlah masyarakat. Oleh karena itulah mereka sangat bersemangat mengajak kaum perempuan supaya rela menanggalkan jilbab dan rasa malunya…” (Nasihati li Nisaa’, hal. 91). Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya persoalan tabarruj (mempertontonkan aurat) bukan masalah ringan karena hal itu tergolong perbuatan dosa besar.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95).

Mulia dengan Pakaian Takwa
Allah ta’ala berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf: 26)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang aurat, maka beliau bersabda, “Jagalah auratmu, kecuali dari (penglihatan) suamimu atau budak yang kau punya.” Kemudian beliau ditanya, “Bagaimana apabila seorang perempuan bersama dengan sesama kaum perempuan ?” Maka beliau menjawab, “Apabila engkau mampu untuk tidak menampakkan aurat kepada siapapun maka janganlah kau tampakkan kepada siapapun.” Lalu beliau ditanya, “Lalu bagaimana apabila salah seorang dari kami (kaum perempuan) sedang bersendirian ?” Maka beliau menjawab, “Engkau lebih harus merasa malu kepada Allah daripada kepada sesama manusia.” (HR. Abu Dawud [4017] dan selainnya dengan sanad hasan, lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381)
Perintah Berjilbab
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Ayat yang disebut dengan ayat hijab ini memuat perintah Allah kepada Nabi-Nya agar menyuruh kaum perempuan secara umum dengan mendahulukan istri dan anak-anak perempuan beliau karena mereka menempati posisi yang lebih penting daripada perempuan yang lainnya, dan juga karena sudah semestinya orang yang menyuruh orang lain untuk mengerjakan suatu (kebaikan) mengawalinya dengan keluarganya sendiri sebelum menyuruh orang lain. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272).
Abu Malik berkata: “Ketahuilah wahai saudariku muslimah, bahwa para ulama telah sepakat wajibnya kaum perempuan menutup seluruh bagian tubuhnya, dan sesungguhnya terjadinya perbedaan pendapat –yang teranggap- hanyalah dalam hal menutup wajah dan dua telapak tangan.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382).
Perintah itu Khusus untuk Isteri Nabi ?
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Ada segolongan orang yang mengatakan bahwa hijab (jilbab) adalah dikhususkan untuk para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab Allah berfirman (yang artinya): “Wahai para isteri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian melembutkan suara karena akan membangkitkan syahwat orang yang di dalam hatinya tersimpan penyakit. Katakanlah perkataan yang baik-baik saja.” (QS. Al-Ahzab: 32). Maka jawabannya adalah: Sesungguhnya kaum perempuan dari umat ini diharuskan untuk mengikuti isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam kecuali dalam perkara yang dikhususkan oleh dalil. Syaikh Asy-Syinqithi mengatakan di dalam Adhwa’ul Bayan (6/584) tatkala menjelaskan firman Allah: “Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (isteri Nabi) maka mintalah dari balik hijab, yang demikian itu akan lebih membersihkan hati kalian dan hati mereka…” (QS. Al-Ahzab: 53) Alasan hukum yang disebutkan Allah dalam menetapkan ketentuan ini yaitu mewajibkan penggunaan hijab karena hal itu lebih membersihkan hati kaum lelaki dan perempuan dari godaan nafsu di dalam firman-Nya, “yang demikian itu lebih membersihkan hati mereka dan hati kalian.” merupakan suatu indikasi yang sangat jelas yang menunjukkan maksud keumuman hukum. Dengan begitu tidak akan ada seorangpun diantara seluruh umat Islam ini yang berani mengatakan bahwa selain isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam tidak membutuhkan kebersihan hati kaum perempuan dan kaum lelaki dari godaan nafsu dari lawan jenisnya….” “Beliau berkata: “Dengan keterangan yang sudah kami sebutkan ini maka anda mengetahui bahwa ayat yang mulia ini menjadi dalil yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa wajibnya berhijab adalah hukum umum yang berlaku bagi seluruh kaum perempuan, tidak khusus berlaku bagi para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam saja, meskipun lafal asalnya memang khusus untuk mereka, karena keumuman sebab penetapan hukumnya menjadi dalil atas keumuman hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan itu maka anda mengetahui bahwa ayat hijab itu berlaku umum karena keumuman sebabnya. Dan apabila hukum yang tersimpan dalam ayat ini bersifat umum dengan adanya indikasi ayat Al-Qur’an maka ketahuilah bahwa hijab itu wajib bagi seluruh perempuan berdasarkan penunjukan Al Qur’an.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 94-95).
Hakikat Jilbab
Di dalam kamus dijelaskan bahwa jilbab adalah gamis (baju kurung panjang, sejenis jubah) yaitu baju yang bisa menutup seluruh tubuh dan juga mencakup kerudung serta kain yang melapisi di luar baju seperti halnya kain selimut/mantel (lihat Mu’jamul Wasith, juz 1, hal. 128, Al Munawwir, cet ke-14 hal. 199)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Yang dimaksud jilbab adalah pakaian yang berada di luar lapisan baju yaitu berupa kain semacam selimut, kerudung, selendang dan semacamnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272). Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Jilbab adalah selendang yang dipakai di luar kerudung. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Mas’ud, Abu ‘Ubaidah (di dalam Maktabah Syamilah tertulis ‘Ubaidah, saya kira ini adalah kekeliruan, pent), Qatadah, Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’ Al Khurasani dan para ulama yang lain. Jilbab itu berfungsi sebagaimana pakaian yang biasa dikenakan pada masa kini (di masa beliau, pent). Sedangkan Al Jauhari berpendapat bahwa jilbab adalah kain sejenis selimut.” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah).
Syarat-Syarat Busana Muslimah
Para ulama mempersyaratkan busana muslimah berdasarkan penelitian dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai berikut:
1.    Harus menutupi seluruh tubuh, hanya saja ada perbedaan pendapat dalam hal menutup wajah dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah QS. An-Nuur: 31 serta QS. Al-Ahzab: 59. Sebagian ulama memfatwakan bahwa diperbolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangan, hanya saja menutupnya adalah sunnah dan bukan sesuatu yang wajib.
2.    Pakaian itu pada hakikatnya bukan dirancang sebagai perhiasan. Dalilnya adalah ayat yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang bisa tampak.” (QS. An-Nuur: 31). Sebagian perempuan yang komitmen terhadap syari’at mengira bahwa semua jilbab selain warna hitam adalah perhiasan. Penilaian itu adalah salah karena di masa Nabi sebagian sahabiyah pernah memakai jilbab dengan warna selain hitam dan beliau tidak menyalahkan mereka. Yang dimaksud dengan pakaian perhiasan adalah yang memiliki berbagai macam corak warna atau terdapat unsur dari bahan emas, perak dan semacamnya. Meskipun begitu penulis Fiqhu Sunnah li Nisaa’ berpendapat bahwa mengenakan jilbab yang berwarna hitam itu memang lebih utama karena itu merupakan kebiasaan para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3.    Pakaian itu harus tebal, tidak boleh tipis supaya tidak menggambarkan apa yang ada di baliknya. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan dua golongan penghuni neraka yang salah satunya adalah para perempuan yang berpakaian tapi telanjang (sebagaimana tercantum dalam Shahih Muslim) Maksud dari hadits itu adalah para perempuan yang mengenakan pakaian yang tipis sehingga justru dapat menggambarkan lekuk tubuh dan tidak menutupinya. Walaupun mereka masih disebut orang yang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka itu telanjang.
4.    Harus longgar, tidak boleh sempit atau ketat karena akan menampakkan bentuk atau sebagian dari bagian tubuhnya. Dalilnya adalah hadits Usamah bin Zaid yang menceritakan bahwa pada suatu saat beliau mendapat hadiah baju yang tebal dari Nabi. Kemudian dia memberikan baju tebal itu kepada isterinya. Namun karena baju itu agak sempit maka Nabi menyuruh Usamah agar isterinya mengenakan pelapis di luarnya (HR. Ahmad, memiliki penguat dalam riwayat Abu Dawud). Oleh sebab itu hendaknya para perempuan masa kini yang gemar memakai busana ketat segera bertaubat.
5.    Tidak perlu diberi wangi-wangian. Dalilnya adalah sabda Nabi: “Perempuan manapun yang memakai wangi-wangian kemudian berjalan melewati sekelompok orang agar mereka mencium keharumannya maka dia adalah perempuan pezina.” (HR. An-Nasa’i, Abu Dawud dan Tirmidzi dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari). Bahkan Al-Haitsami menyebutkan bahwa keluarnya perempuan dari rumahnya dengan memakai wangi-wangian dan bersolek adalah tergolong dosa besar, meskipun dia diijinkan oleh suaminya.
6.    Tidak boleh menyerupai pakaian kaum lelaki. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum laki-laki yang sengaja menyerupai kaum perempuan dan kaum perempuan yang sengaja menyerupai kaum laki-laki.” (HR. Bukhari dan lain-lain). “Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang mengenakan pakaian perempuan dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad dengan sanad sahih)
7.    Tidak boleh menyerupai pakaian khas perempuan kafir. Ketentuan ini berlaku juga bagi kaum lelaki. Dalilnya banyak sekali, diantaranya adalah kejadian yang menimpa Ali. Ketika itu Ali memakai dua lembar baju mu’ashfar. Melihat hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah pakaian kaum kafir. Jangan kau kenakan pakaian itu.” (HR. Muslim, Nasa’i dan Ahmad)
8.    Bukan pakaian yang menunjukkan ada maksud untuk mencari popularitas. Yang dimaksud dengan libas syuhrah (pakaian popularitas) adalah: segala jenis pakaian yang dipakai untuk mencari ketenaran di hadapan orang-orang, baik pakaian itu sangat mahal harganya –untuk memamerkan kakayaannya- atau sangat murah harganya –untuk menampakkan kezuhudan dirinya-. Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakai busana popularitas di dunia maka Allah akan mengenakan busana kehinaan pada hari kiamat, kemudian dia dibakar api di dalamnya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dengan sanad hasan lighairihi) (syarat-syarat ini diringkas dengan sedikit perubahan dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382-391).
Siapa Saja yang Boleh Melepaskan Jilbab
Allah ta’ala berfirman,
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) Menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nuur: 60)
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Yang dimaksud dengan Al-Qawa’id adalah perempuan-perempuan tua, maka kandungan ayat ini menunjukkan bolehnya perempuan tua yang sudah tidak punya hasrat menikah untuk melepaskan pakaian mereka.” Imam Asy-Syaukani mengatakan: “Yang dimaksud dengan perempuan yang duduk (Al-Qawa’id) adalah kaum perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan (menopause). Akan tetapi pengertian ini tidak sepenuhnya tepat. Karena terkadang ada perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan sementara pada dirinya masih cukup menyimpan daya tarik.” … “Sesungguhnya mereka (perempuan tua) itu diijinkan melepasnya karena kebanyakan lelaki sudah tidak lagi menaruh perhatian kepada mereka. Sehingga hal itu menyebabkan kaum lelaki tidak lagi berhasrat untuk mengawini mereka maka faktor inilah yang mendorong Allah Yang Maha Suci membolehkan bagi mereka (perempuan tua) sesuatu yang tidak diijinkan-Nya kepada selain mereka. Kemudian setelah itu Allah masih memberikan pengecualian pula kepada mereka. Allah berfirman: “dan bukan dalam keadaan mempertontonkan perhiasan.” Artinya: tidak menampakkan perhiasan yang telah diperintahkan untuk ditutupi sebagaimana tercantum dalam firman-Nya, “Dan hendaknya mereka tidak menampakkan perhiasan mereka.” Ini berarti: mereka tidak boleh sengaja memperlihatkan perhiasan mereka ketika melepas jilbab dan sengaja mempertontonkan keindahan atau kecantikan diri supaya kaum lelaki memandangi mereka…” (dinukil dari Nasihati li Nisaa’, hal. 87-88).
Syaikh Abu Bakar Al-Jaza’iri berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ artinya: kaum perempuan yang terhenti haidh dan melahirkan karena usia mereka yang sudah lanjut.” (Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah).
Syaikh As-Sa’di berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ adalah para perempuan yang sudah tidak menarik untuk dinikmati dan tidak menggugah syahwat.” (Taisir Karimir Rahman, Makbatah Syamilah).
Imam Ibnu Katsir menukil penjelasan Sa’id bin Jubair, Muqatil bin Hayan, Qatadah dan Adh-Dhahaak bahwa makna Al-Qawa’idu Minan Nisaa’ adalah: perempuan yang sudah terhenti haidnya dan tidak bisa diharapkan melahirkan anak. (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah).
Adapun yang dimaksud dengan pakaian yang boleh dilepas dalam ayat ini adalah kerudung, jubah, dan semacamnya (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah). Meskipun demikian Allah menyatakan: “dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.” (QS. An-Nuur: 60). Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri menjelaskan: “Artinya tidak melepas pakaian tersebut (kerudung dan semacamnya) adalah lebih baik bagi mereka daripada mengambil keringanan.” (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah).
Perintah Menahan Pandangan
Allah ta’ala berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur: 31)
Syaikh As-Sa’di berkata: “Setelah Allah ta’ala memerintahkan kaum lelaki yang beriman untuk menahan pandangan dan menjaga kemaluan maka Allah pun memerintahkan kaum perempuan yang beriman dengan perintah serupa. Allah berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya,” yaitu menahan pandangan dari melihat aurat dan kaum lelaki dengan disertai syahwat atau pandangan sejenis yang terlarang.” Dan hendaknya mereka menjaga kemaluan mereka.” Yaitu supaya terjaga dari perbuatan berjima’, menyentuh atau memandangnya dengan cara yang diharamkan. “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka.” Seperti baju yang indah dan barang perhiasan. Dan seluruh tubuh adalah termasuk perhiasan…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 566). Sedangkan yang dimaksud dengan illa maa zhahara minhaa atau yang biasa nampak darinya adalah: wajah dan telapak tangan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Ath-Thabari di dalam tafsirnya (18/84). Diantara dalilnya adalah peristiwa yang dialami oleh Fadhl bin Abbas bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hajjatul wada’. Ketika itu ada seorang perempuan yang meminta fatwa kepada Nabi. Ibnu Abbas yang meriwayatkan hadits ini mengatakan: “…maka Fadhl mulai mengarahkan pandangannya kepada perempuan itu, sedangkan dia adalah seorang perempuan yang cantik. Maka Nabi pun memegang dagu Fadhl dan memalingkan mukanya ke arah yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hazm berkata: “Seandainya wajah adalah aurat maka wajib baginya untuk menutupinya…” Perkataan Ibnu Abbas: sedangkan dia adalah perempuan yang cantik, juga menunjukkan bahwa wajah perempuan itu terbuka dan ketika itu Rasul sama sekali tidak memerintahkannya untuk menutupinya. (lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 384-385).
Situasi yang Membolehkan Memandang Perempuan
Diantara keadaan yang membolehkan lelaki untuk melihat perempuan adalah:
1.    Ketika melamar (khitbah). Abu Malik berkata: “Para ulama sepakat tentang bolehnya seorang lelaki memandangi perempuan yang benar-benar ingin dinikahinya.”
2.    Melihat untuk keperluan pengobatan. Pada asalnya hendaknya pasien perempuan dilayani oleh dokter perempuan, namun tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwasanya laki-laki diperbolehkan mengobati pasien perempuan dan melihat bagian tubuhnya yang sakit apabila itu memang benar-benar dibutuhkan dan harus memperhatikan batasan syari’at yang sudah ditentukan, diantara syaratnya adalah: Hendaknya lebih didahulukan dokter perempuan dalam mengobati pasien perempuan, hendaknya dokter lelaki itu adalah orang yang amanah dan baik agama serta akhlaqnya, tidak boleh berdua-duaan tanpa ada mahram atau perempuan lain yang bisa dipercaya, hanya melihat bagian tubuh yang dibutuhkan tidak boleh melampaui batas dan pasien itu benar-benar menderita penyakit yang sangat membutuhkan pengobatannya.
3.    Hakim dan saksi yang melihat perempuan yang terlibat dalam kasus persidangan.
4.    Melihat untuk keperluan mu’amalah semacam transaksi jual beli barang. Imam Nawawi berkata: “Boleh bagi lelaki melihat wajah perempuan lain ketika persaksian dan jual beli. Demikian pula sebaliknya, dia boleh melihat lelaki itu.” (diringkas dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 403-404).
Jangan Bertabarruj
Allah ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Abu Malik mengatakan: “Yang dimaksud dengan tabarruj adalah: seorang perempuan menampakkan perhiasan serta kecantikan dirinya dan bagian-bagian tubuh yang seharusnya ditutupi karena hal itu dapat memancing syahwat kaum lelaki.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381).
Ancaman Bagi yang Bertabarruj
Diriwayatkan hadits melalui jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua golongan penghuni neraka yang belum pernah kulihat keduanya: Suatu kaum yang membawa cemeti seperti ekor-ekor sapi, dengan alat itu mereka menyiksa orang-orang. Dan juga para perempuan yang berpakaian namun telanjang yang berlenggak-lenggok dan mempertontonkan kecantikannya. Kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Mereka tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal keharuman surga bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (Muslim [2128], lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382).
Seorang muslimah shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu tanda bukti kenabian: berita yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam itu benar-benar telah terjadi.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95). Beliau juga berkata: “Sehingga apabila ada seorang perempuan yang mempertontonkan auratnya (tabarruj) pergi keluar maka dia tercakup oleh (ancaman di dalam) hadits ini.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 220). Beliau juga mengatakan, “…tabarruj adalah salah satu pintu kerusakan, padahal Allah ‘azza wa jalla telah menyuruh kaum perempuan untuk mengenakan hijab dan menutup diri di hadapan kaum lelaki lain.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 220).
Berdandanlah untuk Suami Tercinta
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Berdandan dan menjaga kebersihan diri merupakan perkara yang disyari’atkan akan tetapi hanya dengan cara yang mubah. Allah ta’ala berfirman,
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ
“Dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang Dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (QS. Az-Zukhruf: 18). Demikian pula kisah Ummu Sulaim ketika ditinggal mati oleh anaknya. Yaitu ketika suaminya Abu Thalhah pulang maka diapun menyajikan hidangan makan malam untuknya. Maka suaminya pun menikmati makanan dan minuman yang disajikannya. Kemudian dia berdandan untuk suaminya dengan dandanan terbaik di luar kebiasaan sebelumnya.” …”…’Aisyah radhiyallahu’anha pun sibuk untuk merawat diri dan berdandan untuk melayani Rasul shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam sehingga membuat sebagian hadits luput dari beliau.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 170).
Di dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang kriteria perempuan (isteri) yang terbaik. Maka beliau menjawab, “Yaitu perempuan yang menyenangkan suaminya apabila dipandang, taat kepada suami jika diperintah…” (HR. Nasa’i dan Ahmad, sahih, lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal 456).
Abu Malik berkata: “Ketahuilah saudariku muslimah, disunnahkan (bagimu) memperhatikan urusan rambut dan menyisirnya, meminyaki dan mencucinya dan sebagainya agar engkau bisa tampil menyenangkan di hadapan suamimu. Tidak diragukan lagi bahwa membuat senang suami adalah sesuatu yang dituntut dalam koridor syari’at…” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal 412). Selain itu hendaknya dia rajin menggosok gigi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya bukan karena kekhawatiranku kalau memberatkan kaum beriman maka pastilah aku sudah perintahkan mereka mengakhirkan sholat ‘Isyak dan menggosok gigi setiap kali hendak sholat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Perempuan juga diperbolehkan menggunakan wangi-wangian, baik wangi-wangian itu khusus untuk perempuan atau yang biasa dipakai kaum lelaki, dengan syarat hal itu dilakukan ketika berada di sisi suaminya saja. Dan apabila dia keluar rumah maka dia harus menghilangkan semerbak harum wewangian yang dikenakannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian (kaum perempuan) mendatangi masjid maka janganlah menyentuh minyak wangi.” (HR. Muslim dan Nasa’i) (lebih lengkap lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 411-426).
Selesai disusun, malam Jum’at, 2 Rabi’u Tsani 1428
Alhamdulillaahilladzi bini’matihi tatimmush shaalihaat


Leave a Reply

Pramuka Smanab

Labels